ASKEP
ANAK IKTERUS (HIPERBILIRUBIN)
I.
PENDAHULUAN
Ketika bayi Anda masih berada dalam rahim (masih
dalam bentuk janin), maka tugas membuang bilirubin dari darah janin dilakukan
oleh plasenta. Hati/liver si janin tidak perlu membuang bilirubin.
Ketika
bayi Anda lahir, maka tugas ini langsung diambil alih oleh hati/liver-nya.
Karena liver-nya belum terbiasa
melakukannya, maka jangan kaget jika ternyata ia memerlukan beberapa minggu
untuk penyesuaian.
Selama liver bayi Anda bekerja keras untuk
menghilangkan bilirubin dari darahnya, tentu saja jumlah bilirubin yang tersisa
akan terus menumpuk di tubuhnya. Karena bilirubin berwarna kuning, maka jika
jumlahnya sangat banyak, ia dapat “menodai” kulit dan jaringan-jaringan tubuh
lainnya yang dimiliki oleh bayi Anda.
Hiperbilirubinemia
merupakan
kenaikan tingkat bilirubin pada bayi. Ketika tubuh bayi mengganti sel-sel darah
merah dan jaringan tubuh lainnya dengan yang baru, maka hasil pembuangan dari
proses ini biasanya akan dihilangkan oleh hati/liver. Bilirubin termasuk salah
satu hasil pembuangan tersebut.
II. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Ikterus
fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada bayi.
Ikterus
patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
B.
Metabolisme Bilirubin
Untuk
mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin
merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin
serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi
larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada
dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan
glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat
terjadinya proses konjugasi.
Prosedur
ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam
air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar
bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian
besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar
eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan
belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari
ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali
pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada
bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan
ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus
fisiologik.
Masalah
akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi
hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang
berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak
yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.
C. Etiologi
Penyebab
ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor:
1.
Produksi yang berlebihan
Hal
ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
enzim G-6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2.
Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan
ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab
lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake”
bilirubin ke sel hepar.
3.
Gangguan transportasi
Bilirubin
dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan
sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4.
Gangguan dalam ekskresi
Gangguan
ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
D. Patofisiologi
Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada
streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi
apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada
bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita
gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatika.
Pada
derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek
ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar
darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin
tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas.
Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan
saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
E. Tanda dan Gejala
♦
Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin
indirek).
♦
Anemia
♦
Petekie
♦
Perbesaran lien dan hepar
♦
Perdarahan tertutup
♦
Gangguan nafas
♦
Gangguan sirkulasi
♦
Gangguan saraf
F. Penatalaksanaan
Tujuan
utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai
nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung
ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase
dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat
menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian
atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan
kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
G. Prognosis
Hiperbilirubin
baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris,
gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin
kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan
adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan
adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari
kemudian.
III. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a.
Riwayat penyakit
Kekacauan/
gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi, hematom,
memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan diabetes.
b.
Pemeriksaan fisik
-
Kuning
-
Pucat
-
Urine pekat
-
Letargi
-
Penurunan kekuatan otot (hipotonia)
-
Penurunan refleks menghisap
-
Gatal
-
Tremor
-
Convulsio (kejang perut)
-
Menangis dengan nada tinggi
c.
Pemeriksaan psikologis
Efek
dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.
d.
Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien
Penyebab
dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi yang
lain yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya
kemauan untuk belajar.
B. Diagnosa keperawatan
1.Resiko
peningkatan kadar bilirubin dalam darah berhubungan dengan kondisi
fisiologis/patologis
Tujuan/Kriteria
Tidak
ada peningkatan hiperbilirubinemia
Rencana
Tindakan
a.Monitor
tanda-tanda vital
b.Monitor
bilirubin serum
c.Monitor
bila ada muntah, kaku otot atau tremor
d.Kolaborasi
terapi dengan tim medis
e.Berikan
minum ekstra
f.Kolaborasi
dengan tim medis untuk pemberian fototerapi
2.
Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan malas menghisap
Tujuan/Kriteria
Kebutuhan
nutrisi terpenuhi
Rencana
Tindakan
a.Berikan
minum melalui sonde(ASI yang diperah atau PASI)
b.Lakukan
oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
c.Monitor
intake dan output
d.Monitor
berat badan tiap hari
e.Observasi
turgor dan membran mukosa
3.
Resiko perubahan suhu Tubuh berhubungan dengan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Suhu
tubuh tetap normal
Rencana
Tindakan:
a.Monitor
tanda-tanda vital tiap 4jam
b.Perhatikan
suhu lingkungan dan gunakan isolasi
c.Berikan
minum tambahan
4.
Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek
samping fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Tidak
terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan
Rencana
Tindakan:
1.Kaji
efek samping fototerapi
2.Letakkan
bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
3.Selama
dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus
cahaya
4.Monitor
reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan
mata setiap 8 jam
5.Buka
tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
6.Observasi
dan catat penggunaan lampu
5.
Resiko terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek samping fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Selama
dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit
Rencana
Tindakan:
a.Observasi
keadaan keutuhan kulit dan warnanya
b.Bersihkan
segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
c.Gunakan
lotion pada daerah bokong
d.Jaga
alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
e.Lakukan
alih baring dan pemijatan
6. Kecemasan orang tua berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur pemasangan dan efek
samping fototerapi
Tujuan/Kriteria:
Orang
tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
Rencana
Tindakan:
1.Beri
penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
2.Berikan
support mental
3.Libatkan orang tua
dalam prosedur fototerapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar